SOSIOLOG media massa Wilbur Schramm (1973) menyebut pers menjadi pengamat (watcher), forum, dan guru (teacher) bagi masyarakat. Pertama, dalam menjalankan perannya sebagai pengamat, hampir tidak ada isu/peristiwa yang luput dari bidikan pers. Tidak sekedar mengamati, pers juga memberi interpretasi dan prediksi atas suatu peristiwa/topik berita. Publik pun menjadi lebih awas dengan lingkungannya. Punya cukup untuk informasi untuk bertindak dan mempersiapkan diri untuk segala hal yang mungkin terjadi.
Kedua, pers memainkan peran sebagai forum. Tempat bertemunya segala isu dan kepentingan. Pers seperti panggung yang mementaskan segala isu yang menarik dan terkait dengan kepentingan publik. Dengan fungsi seleksinya (gatekeeper), pers mengumpulkan, memilih, dan menyajikan isu/peristiwa kepada publik. Terakhir, pers adalah guru. Melalui berita, publik belajar nilai demokrasi, kesetaraan, hak asasi manusia, perlindungan bagi minoritas, dan sejumlah semangat positif lainnya.
Ketiga fungsi ini ideal. Namun tidak berarti akan selalu ideal. Tetap terbuka kemungkinan untuk mengalami distorsi. Dengan kecenderungannya mengabarkan apa yang sedang terjadi, pers terkadang tergoda untuk berpindah dari satu isu ke isu lain. Akibatnya, beberapa hal yang harusnya dapat dikawal dengan tuntas jadi terabaikan.
McQuail (1994) mengemukakan serangkaian riset yang dilakukan atas isi media menunjukkan bahwa pers cenderung menghadirkan perspektif kelas atas atau menengah saja. Kelas sosial yang dimaksud di sini baik dalam konteks pekerjaan, penghasilan, status, juga pengaruh. Pers juga lebih cenderung memilih sumber dari para ahli dan pemimpin resmi. Bukan dari kalangan orang kebanyakan. Konsekuensinya, forum yang disajikan pers berpotensi bias dari pespektif kelas sosial, termasuk jenis kelamin. (Sumber : isukomunikasi.blogspot.com) Ekeng KH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar