Laman

Sabtu, 19 Januari 2013

Sistem Sosial



Hasriani Fait
C1D 10 049

Sistem Sosial

Istilah "sistem" berasal dari bahasa Yunani "Systema" yang mempunyai pengertian :
a)      Suatu keseluruhan yang tersusun dari sekian banyak bagian.
b)      Hubungan yang berlangsung diantara satuan-satuan atau komponen secara teratur.

Jadi, dengan kata lain istilah "systema" itu mengandung arti sehimpunan bagian atau komponen  yang saling berhubungan secara teratur dan merupakan satu keseluruhan.

Sedangkan pengertian "sistem sosial", menurut Jabal Tarik Ibrahim dalam bukunya Sosiologi Pedesaan, adalah sejumlah kegiatan atau sejumlah orang yang mempunyai hubungan timbal balik relatif konstan. Hubungan sejumlah orang dan kegiatannya itu berlangsung terus menerus. Dari tiga hal di atas terdapat tiga hal pokok, yaitu :
a.       Dalam setiap "sistem sosial" ada sejumlah orang dan kegiatannya.
b.      Dalam sustu "sistem sosial", orang-orang dan atau kegiatan-kegiatan itu berhubungan secara timbal-balik.
c.       Hubungan yang bersifat timbal-balik dalam suatu "sistem sosial" bersifat konstan.

Dari uraian tadi menunjukkan bahwa "sistem sosial" merupakan kesatuan yang terdiri dari bagian-bagian (elemen atau komponen), yaitu :
a.       orang dan atau kelompok beserta kegiatannya.
b.      Hubungan sosial, termasuk di dalamnya norma-norma, dan nilai-nilai yang mengatur hubungan antar orang atau kelompok tersebut.

"Sistem sosial" merupakan ciptaan dari manusia, dalam hal ini "sistem sosial" terjadi karena manusia adalah makhluk sosial. Ada beberapa hal yang membuat manusia menciptakan "sistem sosial", antara lain karena :
a.       Manusia mempunyai kebutuhan dasar biologi tertentu seperti pangan, papan, sandang dan seks.
b.      Untuk memuaskan kebutuhan ini, manusia tergantung pada organisasi-organisasi kemasyarakatan.
c.       Kenyataan di atas menciptakan kebutuhan-kebutuhan lain, yaitu kebutuhan sistem pada diri individu.
d.      Pada akhirnya manusia berusaha untuk memaksimumkan kepuasan dari kebutuhan dirinya.

"Sistem sosial" mempengaruhi perilaku manusia, karena di dalam suatu "sistem sosial" tercakup pula nilai-nilai dan norma-norma yang merupakan aturan perilaku anggota-anggota masyarakat. Dalam setiap "sistem sosial" pada tingkat-tingkat tertentu selalu mempertahankan batas-batas yang memisahkan dan membedakan dari lingkungannya ("sistem sosial" lainnya). Selain itu, di dalam "sistem sosial" ditemukan juga mekanisme-mekanisme yang dipergunakan atau berfungsi mempertahankan "sistem sosial" tersebut.

            Memahami sistem sosial ialah proses belajar mengenali, menganalisis dan mempertimbangkan eksistensi dan perilaku organisasi dan institusi sosial kemasyarakatan dalam berbagai ranah kehidupan manusia. Peran manusia di sini lebih dilihat sebagai makhluk sosial dan bagian dari kelompok kepentingan, bukan sebagai individu. Ketika kita mengamati suatu fenomena sosial, maka sebenarnya kita sedang mencerna realitas kehidupan yang membawakan kondisi sistem masyarakat tertentu yang sedang bekerja, berusaha tetap langgeng, dan seringkali berbenturan dengan sistem-sistem lainnya. Sistem ini mencirikan karakteristik sifat, tata nilai, ukuran, kualitas dan kedudukan relasional di dalam dan antarsistem. Oleh karenanya, fenomena sosial pada hakikatnya adalah proses dialog, transaksi dan negosiasi sejumlah sistem sosial pada konteks waktu dan tempat tertentu.

Sistem Sosial Indonesia
Oleh : DR. Nasikun

SISTEM SOSIAL INDONESIA
BAB 1
PENDAHULUAN

Berawal dari sebuah pengalaman penulis yang menceritakan tentang peperangan yang dialaminya, dan menewaskan seorang dari teman penulis yang meninggal karena menjadi petunjuk jalan yang berani bagi salah satu pihak yang sedang berperang. Tewasnya anak itu menjadi bahan perbincangan yang paling ramai di kampung tersebut. Akan teteapi perlahan-lahan lenyap dari ingatan semua orang.

Cerita tentang pertempuran itu hanya dimaksudkan untuk menyatakan berbagai persoalan tentang konflik antar kekuatan-kekuatan sosial-politik di Indonesia memang masih banyak terjadi yang menjadi dasar terjadinya banyak pertempuran-pertempuran. Semakin dewasa penulis, semakin mengertilah penulis tentang sejarah kehidupan bangsa Indonesia sebelum dan sesudah kemerdekaan.

Melewati tahun 1945, pertentangan-pertentangan justru terjadi di antara tokoh-tokoh dan kelompok-kelompok sosial politik yang sebelumnya hasrat pengabdian mereka terhadap bangsa Indonesia sangat kuat sehingga mewujudkan jiwa bahu-membahu dalam mewujudkan kemerdekaan di Indonesia. Banyaknya gerakan pemberontakan saat itu hampir memusnahkan keutuhan negara dan bangsa Indonesia. Yang lebih parah lagi ialah kenyataan bahwa pertentangan-pertentangan tersebut terutama terjadi di sekitar pertentangan-pertantangan pendiri dasar filsafah negara, suatu “konsensus nasional” yang seharusnya jadi landasan tingkah laku sesama warga Indonesia. Dimana ahli ilmu kemasyarakatan bangsa asing yang menganggap semboyan bangsa merupakan cita-cita yang masih harus diperjuangkan.

Meskipun banyak orang yang menganggap konflik dan integrasi yang dialami bangsa Indonesia masih tidak separah yang dihadapi oleh negara malaysia atau india, kendati beberapa diantara mereka menganggap masalah konflik dan integrasi nasional lebih merupakan masalah yang dihadapi oleh Indonesia pada tahun-tahun lima puluhan.
Konflik dan integrasi nasional akan tetap menjadi masalah yang rawan bagi bangsa Indonesia untuk jangka waktu yang masih cukup lama di masa-masa akan datang. Akan tetapi konflik-konflik sosial dalam berbagai masyarakat memiliki derajat dan polanya masing-masing karena sumber yang menyebabkannya mempunyai ragam dan pola yang tidak sama pula.


BAB 2
PENDEKATAN TEORITIS

Sudut pandang yang mendapatkan perhatian pertama kali yaitu menganggap bahwa masyarakat pada dasarnya terintegrasi di atas dasar kata sepakat para anggotanya akan nilai-nilai kemasyarakatan tertentu, suatu general agreement yang memiliki daya mengatasi perbedaan-perbedaan pendapat dan kepentingan di antara para anggota masyarakat. Ia memandang masyarakat sebagai suatu sistem yang secara fungsional terintegrasi ke dalam suatu bentuk equilibium. Karena sifatnya yang demikian, maka aliran pemikiran tersebut disebut sebagai integration approach, order approach, equilibrium approach, atau lebih bisa disebut sebagai structural-functional approach. Teori-teori yang mendasar pada sudut tersebut biasa dikenal sebagai integration theories, order theories, equilibrium theories, atau biasa dikenal sebagai teori-teori fungsional-struktural.

Fungsional integrasi bisa kita kaji melalui sejumlah anggapan dasar sebagai berikut:
·         Masyarakat harus dilihat sebagai suatu sistem daripada bagian-bagian yang saling berhubungan satu sama lain.
·         Hubungan mempengaruhi bagian-bagian yang bersifat ganda dan timbal balik.
·         Secara fundamental system sosial cenderung bergerak ke arah equilibium yang bersifat dinamis : menanggapi perubahan yang datang dari luar dengan tetap mempertahankan sistem pada awalnya.
·         Meski adanya disfungsi, penyimpangan-penyimpangan tetapi akan terjadi proses institusionalisasi (ke arah perbaikan). Dengan kata lain, sekalipun integrasi sosial pada tingkatnya yang sempurna tidak akan pernah tercapai.
·         Perubahan-perubahan dalam sistem sosial terjadi secara gradual (melalui penyesuaian), tidak secara revolusioner.
·         Pada dasarnya, perubahan sosial timbul melalui tiga tahap : penyesuaian karena perubahan sistem dari luar, pertumbuhan karena diferensiasi struktural dan fungsional, dan penemuan baru oleh masyarakat.
·         Faktor yang paling penting yang memiliki daya mengintegrasikan suatu sistem sosial adalah konsensus di antara para anggota masyarakat mengenai nilai kemasyarakatan tertentu.

Dengan cara lain, dapat dikatakan bahwa sistem sosial adalah suatu sistem tindakan yang terbentuk dari interaksi sosial yang terjadi antara berbagai individu yang tumbuh dan berkembang tidak secara kebetulan melainkan tumbuh dan berkembang di atas standar penilaian yang disepakati bersama oleh masyarakat. Pengaturan interaksi anggota terjadi karena commitment mereka terhadap norma sosial yang menghasilkan daya untuk mengatasi perbedaan-perbedaan pendapat dan kepentingan di antara mereka, suatu hal yang memungkinkan mereka menemukan keselarasan satu sama lain di dalam suatu tingkat integrasi sosial.

Menurut Talkot Parson, pendekatan fungsionalisme struktural menekankan anggapan dasarnya pada peranan unsur-unsur normatif dari tingkah laku sosial. Sebaliknya menurut David Lockwood menyebutkan sebagai substratum yakni disposisi yang mengakibatkan timbulnya perbedaan life chances dan kepentingan yang tidak bersifat normatif , tidak memperoleh tempat yang wajar dalam pemikiran para penganut pendekatan tersebut.

Dengan itu, David Lockwood menegaskan bahwa situsasi sosial mengandung dua hal yakni tata tertib yang bersifat normtaif dan substratum yang melahirkan konflik-konflik. Jadi tata tertib dan konflik adalah dua kenyataan yang melekat bersama dalam tiap sistem sosial. Kemudian adanya pandangan dasar tentang sistem sosial memiliki kecenderungan untuk mencapai stabilitas atau equilibium menganggap bahwa adanya disfungsi, ketegangan, dan penyimpangan sosial merupakan akibat dari faktor luar.
Maka dari anggapan itu mengakibatkan adanya kenyataan tentang :
1.      Setiap struktur sosial dalam diri mengandung konflik-konflik.
2.      Reaksi dari pengaruh luar tidak selalu bersifat adjustive.
3.      Sistem sosial dalam waktu panjang dapat menghasilkan konflik Visious circle.
4.      Perubahan sosial tidak selalu bersifat gradual tetapi dapat terjadi secara revolusioner.
Kemudian pendekatan yang kedua adalah pendekatan konflik. Dimana pendekatan ini berpangkal dari :
1.      Setiap masyarakat berada dalam proses perubahan yang tidak pernah berakhir.
2.      Setiap masyarakat mengandung konflik di dalam dirinya.
3.      Setiap unsur dalam masyarakat memberikan sumbangan pada disintegrasi dan perubahan sosial.
4.      Setiap masyarakat terintegrasi di atas penguasa.

Perubahan sosial oleh penganut pendekatan konflik tidak saja dipandang sebagai gejala yang melekat di dalam kehidupan tiap masyarakat tetapi justru bersumber dari tiap individu yang diawali dari pembagian otoritas. Pembagian otoritas yang bersifat dikotomis serupa itu oleh para penganut pendekatan konflik dianggap sebagai sumber tibulnya konflik-konflik sosial. Dalam setiap masyarakat selalu terdapat konflik antara kepentingan dari mereka yang memiliki kekuasaan otoritatif berupa kepentingan untuk memelihara status quo dari pola hubungan kekuasaan yang ada, dengan kepentingan mereka untuk mengubah status quo dari pola hubungan tersebut.

Adanya kelompok kepentingan yang merupakan sumber dari mana para anggota kelompok kepentingan terbentuk juga bisa menimbulkan sebuah konflik. Tetapi sebelumnya, Dahrendorf menyebutkan ada tiga syarat yang bersifat kondusional yang memungkinkan suatu kelompok semu dapat terorganisir ke dalam bentuk kelompok kepentingan :
a)      Kondisi teknis dari suatu organisasi (technical conditions of organization)
b)      Munculnya sejumlah orang yang mampu merumuskan dan mengorganisir latent interest menjadi manifest interest berupa kebutuhan yang ingin dicapai.
c)      Kondisi politis dari suatu organisasi (political conditions of organization)
d)     Ada tidaknya kebebasan politik untuk berorganisasi yang diberikan oleh masyarakat.
e)      Kondisi sosial bagi suatu organisasi (social conditions of organization)

Adanya sistem komunikasi yang memungkinkan para anggota dari kelompok semu berkomunikasi satu sama lain dengan mudah. Ketiga kondisi tersebut secara bersama-sama menjadi intervening variables bagi munculnya kelompok kepentingan yang hendaknya dipandang dalam hubungannya dengan suatu proses yang bersifat dinamis. Sementara konflik timbul sebagai akibat dari adanya kenyataan bahwa di dalam setiap masyarakat selalu terdapat distribusi otoritas yang terbatas adanya. Konsekuensi yang timbul ialah bertambahnya otoritas pada suatu pihak, maka dengan begitu akan berkurang otoritas pada pihak lain. Maka dari hal ini penganut pendekatan konflik dengan penuh keyakinan menganggap bahwa konfik merupakan gejala kemasyarakatan yang senantiasa melekat dalam kehidupan setiap masyarakat. Oleh karena itu orang hanya dapat melakukan pengendalian konflik agar tidak terwujud bentuk kekerasan (violence) .
Bentuk-bentuk pengendalian konflik-konflik sosial :
a)      Konsiliasi (conciliation) : Mempertemukan kedua belah pihak yang berkonflik. Pihak ketiga hanya memfasilitasi perundingan.
b)      Mediasi (mediation) : Mempertemukan kedua belah pihak dimana pihak ketiga hanya bersifat menasehati atau memberi masukan perihal konflik tersebut.
c)      Arbitrasi (arbitration) : Mempertemukan kedua belah pihak dimana pihak ketiga sebagai wasit yang keputusannya bersifat mutlak harus dipatuhi.


BAB 3
STRUKTUR MAJEMUK MASYARAKAT INDONESIA

Suatu sintesis pendekatan fungsionalisme struktural dan pendekatan konflik dapat dilakukan mengingat bahwa keduanya mengandung kesamaan-kesamaan tertentu. Consensus dan konflik merupakan dua gejala yang melekat bersama-sama di dalam setiap masyarakat. Struktur masyarakat indonesia ditandai oleh dua cirinya yang bersifat unik. Secara horisontal ia ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasar perbedaan-perbedaan suku, agama,daerah,adat. Secara vertikal struktur masyarakat ditandai oleh adanya perbedaan-perbedaan vertikal antara lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup tajam. Perbedaan suku bangsa, agama, adat dan daerah merupakan ciri dari masyarakat indonesia yang disebut sebagai masyarakat majemuk.

Menurut Furnival Masyarakat indonesia pada masa hindia-belanda merupakan suatu masyarakat majemuk yakni, suatu masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain di dalam suatu kesatuan politik.
Di dalam kehidupan politik, pertanda paling jelas dari masyarakat Indonesia yang berisifat majemuk itu adalah tidak adanya kehendak bersama (common will). Secara keseluruhan, masyarakat Hindia-Belanda merupakan suatu masyarakat yang tumbuh di atas dasar sistem kasta tanpa ikatan agama.

Di dalam kehidupan ekonomi, tidak ada kehendak bersama dalam menemukan pernyataan dalam permintaan sosial yang dihayati bersama oleh seluruh elemen masyarakat (common social demand). Kebutuhan-kebutuhan keagamaan, politik, dan keindahan, pendek kata semua kebutuhan kultural yang memiliki aspek ekonomi karena pada akhirnya menyatakan diri secara terorganisir hanya sebagai kebutuhan ekonomi yakni permintaan atau demand sebagai keseluruhan. Akan tetapi di dalam suatu masyarakat majemuk, permintaan masyarakat tersebut tidaklah terorganisir, melinkan bersifat seksional (sectional) dan tidak dihayati bersama elemen masyarakat. Tidak adanya permintaan sosial yang dihayati bersama oleh semua elemen masyarakat mejadi sumber yang membedakan karakter daripada ekonomi majemuk (plural economy) dari suatu masyarakat majemuk dengan ekonomi tunggal (unitary economy) dari suatu masyarakat yang bersifat homogeneous. Keadaan masyarakat Indonesia pada masa kini sudah pasti telah jauh berbeda dari keadaan tersebut dan oleh karena itu pengertian masyarakat majemuk sebagaimana digambarkan oleh furnivall harus tidak dapat begitu saja diperlakukan untuk melihat masyarakat Indonesia pada masa sekarang.

Furnivall, yakni suatu masyarakat dimana sistem nilai yang dianut oleh berbagai kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya sehingga para angota masyarakat kurang memiliki loyalitas terhadap masyarakat sebagai keseluruhan yang kurang memiliki homogenitas atau bahkan kurang memiliki dasar-dasar untuk saling memahami satu sama lain. Clifford Geertz, masyarakat majemuk adalah masyarakat yang terbagi-bagi ke dalam sub sistem yang kurang lebih berdiri sendiri-sendiri dimana masing-masing sub sistem terikat ke dalam ikatan yang bersifat primordial.
Piere L,van den Berge menyebutkan beberapa karakteristik masyarakat majemuk :
1.      Terjadinya segmentasi ke dalam bentuk kelompok-kelompok yang sering kali memiliki subkebudayaan yang berbeda satu sama lain.
2.      Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat non-komplementer
3.      Kurang mengembangkan konsensus diantara para anggotanya terhadap nilai-nilai yang bersifat dasar.
4.      Secara relatif sering kali mengalami konflik-konflik diantara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain.
5.      Secara relatif integrasi sosial tumbuh di atas paksaan (coection) dan saling ketergantungan di dalam bidang ekonomi.
6.      Adanya dominasi pilitik oleh semua kelompok atas kelompok-kelompok yang lain.

Oleh karena itu, suatu masyarakat majemuk tidak dapat disamakan dengan masyarakat yang memiliki unit-unit kekerabatan yang bersifat segmenter, akan tetapi juga tidak dapat disamakandengan masyarakat yang terdiferensiasi atau spesialisasi yang tinggi. Maka masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang bersifat majemuk.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan plualitas masyarakat indonesia :
1.      Keadaan geografis yang membagi wilayah Indonesia dengan berbagai pulau.
2.      Indonesia terletak diantara samudera hindia dan samudera pasifik.
3.      Perbedaan iklim dan struktur tanah di kepulauan Nusantara.

Perbedaan-perbedaan suku bangsa, agama, dan regional merupakan dimensi-dimensi horisontal dari struktur masyarakat Indinesia. Sementara itu dimensi vertikal struktur masyarakat Indonesia dari waktu ke waktu dapat kita saksikan dalam bentuk semakin tumbuhnya polarisasi sosial berdasarkan kekuatan politik dan kekayaan.


BAB 4
STRUKTUR KEPARTAIAN SEBAGAI PERWUJUDAN STRUKTUR SOSIAL MASYARAKAT INDONESIA

Perbedaan-perbedaan suku bangsa,agama, regional dan pelapisan sosial secara analitis memang dapat dibicarakan sendiri-sendiri, akan tetapi di dalam kenyataan semuanya jalin-menjalin menjadi suatu kebulatan yang kompleks, serta menjadi dasar bagi terjadinya pengelompokan masyarakat Indonesia. Jalinan tesebut telah menghasilkan terjadinya berbagai “kelompok semu”, yang di dalam konteks pengertian populer dapat kita sebut sebagai “golongan” yang akan menjadi sumber dari mana anggota-anggota “kelompok kepentingan” terutama direkrut. Pengelompokan masyarakat Indonesia membawa akibat yang luas dan mendalam dalam pola hubungan politik, ekonomi, hukum, kekeluargaan dan sebagainya.
Timbulnya kematangan kondisi teknis,polotik, dan sosial abad-20 telah berhasil mengubah kelompok-kelompok semu menjadi kelompok kepentingan. Salah satu kelompok kepentingan yang sangat khusus sifatnya adalah partai politik.
Di Indonesia pertama kalinya pada hasil pemilihan umum tahun 1955 Partai Masyumi merupakan partai paling besar sesudah PNI (Partai Nasional Indonesia), dan Partai Nahdatul Ulama yang merupakan partai paling besar nomor tiga sesudah Masyumi. Pertumbuhan kedua partai politik tersebut melampaui serangkaian proses kristalisasi yang cukup panjang .
Sebuah partai lain yang pernah menempati posisi sangat penting dalam kehidupan politik Indonesia pada masa-masa silam adalah PNI yang menurut hasil pemilu merupakan partai [aling besar. Sejak awal kelahirannya pada tahun 1972 PNI banyak memperoleh dukungan dari golongan elit birokrasi yang berasal dari golongan elit tradisional jawa yang berpendidikan serta perumusan Marhaenisme sebagai ideologi partai membuat PNI semakin kuat.
Selanjutnya partai terbesar ke empat adalah PKI. PKI memperoleh dukungan sangat kuat terutama dari golongan islam non santri di daerah jawa tengah dan jawa timur. PKI memiliki basis massanya terutama di dalam lapisan bawah masyarakat desa. PKI memiliki lebih banyak pemimpin-pemimpinnya yang berasal dari lapisan bawah masyarakat.
PSI merupakan partai yang lebih kecil dilihat dari massa yang diperoleh tetapi memiliki pengaruh cukup kuat di kancah politik. PSI memperoleh dukungan dari elite berpendidikan akan tetapi kurang memperoleh dukungan dari elite pedesaan serta PSI banyak mendapat dukungan dari kalangan di daerah jawa barat, Nusa Tenggara Timur, serta daerah di luar Pulau Jawa.
Melihat struktur politik yang demikian, kita bisa menjadi lebih mengerti betapa konflik-konlik antara partai politik di Indonesia pada masa-masa yang silam merupakan konflik antara kelompok sosial kultural berdasar perbededaan suku bangsa, agama, daerah, dan stratifikasi sosial. Tidak dapat dipungkiri bahwa perilaku politik dari berbagai parpol di Indonesia jauh lebih kompleks daripada sekedar sumber di dalam perbedaan suku bangsa, agama, daerah, dan stratifikasi sosial.
Kompleksitas itulah yang memberi kemungkinan timbulnya berbagai cara melihat pola kepartaian dan perilaku politik. Perwujudannya dinyatakan dalam konflik ideologis di antara lima buah aliran pemikiran : Nasionalisme Radikal, Tradisionalisme Jawa, Islam Sosialisme Demokrat, dan Komunisme.
Pada dasarnya pola kepartaian yang bersifat sosial kultural boleh dipastikan belum mengalamiperubahan. Berhasil tidaknya fusi-fusi partai politik yang terjadi atas prakarsa pemerintah justru akan tergantung pada seberapa jauh perubahan sosial-kultural yang menjadi dasar pola kepartaian di Indonesia pada masa yang akan datang.



BAB 5
STRUKTUR MASYARAKAT INDONESIA
DAN MASALAH INTEGRASI SOSIAL

Pluralitas masyarakat yang bersifat multidimensional telah menimbulkan persoalan tentang bagaimana masyarakat Indonesia terintegrasi secara horisontal, sementara stratifikasi sosial sebagaimana diwujudkan oleh masyarakat Indonesia akan memberi bentuk pada Integrasi nasional yang bersifat vertikal.

Suatu sistem sosial senantiasa terintegrasi di atas landasan dua hal yaitu: pertama, masyarakat senantiasa terintegrasi di atas tumbuhnya konsensus di antara sebagaian besar anggota masyarakat akan nilai-nilai kemasyarakatan yang bersifat fundamental. Kedua, masyarakat terintegrasi karena menjadi anggota dari berbagai kesatuan sosial (cross cutting affiliations).

Pada tingkat tertentu keduanya tentu saja mendasari terjadinya integrasi sosial di dalam masyarakat yang bersifat majemuk karena tanpa keduanya maka tidak akan terbentuk masyarakat walaupun landasan tersebut hanya berlaku dalam derajat yang bersifat sementara.
Segmentasi kedalam bentuk kesatuan-kesatuan sosial yang terikat kedalam ikatan primordial dengan sub kebudayaan yang berbeda satu sama lain, mudah sekali menimbulkan konflik. Dalam hal ini ada dua tingkatan konflik :
a)      Konflik ideologis
b)      Konflik antar sistem nilai yang dianut serta menjadi ideologi berbagai kesatuan sosial.
c)      Konflik politius
d)     Konflik dalam bentuk pertentangan di dalam pembagian status kekuasaan dan sumber ekonomi.

Dalam suatu konflik maka sadar atau tidak setiap pihak yang berselisih akan berusaha mengabadikan diri di antara sesama anggotanya, membentuk organisasi kemasyarakatan untuk keperluan kesejahteraan dan pertahanan bersama.
Menurut Liddle konflik dapat terselesaikan pabila muncul integrasi nasional, dan integrasi nasional yang tangguh hanya dapat berkembang apabila:
1.      1.Sebagian besar anggota masyarakat bersepakat tentang batas teritorial dari suatu negara.
2.      2.Apabila sebagian besar anggota masyarakat tersebut bersepakat mengenai struktur pemerintahan dan aturan politik yang berlaku bagi masyarakat tersebut.

Dengan perkataan lain, integrasi nasional akan terjain apabila adanya konsensus tentang batas-batas masyarakat politik dan sistem politik yang berlaku bagi masyarakat.
Ada indikator yang menggambarkan intensitas konflik politik yang terjadi di dalam masyarakat Indonesia dari tahun 1948-1967:
1.      Demonstrasi (a protest demonstration)
2.      Sejumlah orangisasi yang tidak menggunakan kekerasan untuk mengorganisir dirimelakukan protes terhadap rezim atau kebujakan yang sedang direncanakan
3.      Kerusuhan (riot)
4.      Demonstrasi dengan cara melakukan kerusuhan menggunakan kekuatan fisik dengan pengrusakan barang-barang,pemukulan dalam mengungkapkan protes terhadap pihak yang menurut mereka tidak benar.
5.      Serangan bersenjata (armed attack)
6.      Tindakan kekerasan yang dilakukan untuk kepentingan suatu kelompok tertentu dengan maksud melemahkan atau bahkan menghancurkan kekuasaan dari kelompok kain. (pertumpahan darah, pergulatan, pengrusakan barang-barang)
7.      Jumlah kematian akibat dari kekerasan politik

Salah satu perubahan politik yang paling penting yang dapat dipakai sebagai indikator konflik politik adalah terjadinya perubahan di dalam lembaga-lembaga eksekutif. Indikator ini dapat kita bedakan ke dalam dua macam perubahan :
1.      Reguler excekutive transfer: Suatu pemindah kekuasaan eksekutif pada tingkat nasional dari suatu pemimpin atau kelompok penguasa yang lain melalui cara-cara yang bersifat legal-konvensional atau melalui prosedur yang sudah menjadi kebiasaan, tanpa disertai dengan tekanan kekerasan fisik yang nyata dan langsung.
2.      Ireguler power transfer: Pemindah kekuasaan eksekutif pada tingkat nasional dari suatu pemimpin atau kelompok penguasa kepada pemimpin atau kelompok penguasa lain melalui cara-cara yang tidak legal-konvensional atau prosedur-prosedur yang tiada biasa.

Jadi dari sini dapat disimpulkan untuk tidak memberlakukan kedua macam pendekatan yang telah berulang kali disebutkan yakni, fungsionalisme struktural dan pendekatan konflik secara sepihak. Sifat majemuk masyarakat Indonesia memang telah menjadi sebab dan kondisi bagi timbulnya konflik-konflik sosial yang sedikit banyak bersifat vicious circle dan yang oleh karenanya mendorong tumbuhnya proses integrasi sosial di atas landasan coercion. Tanpa coercion, maka masyarakat Hindia-Belanda sebagai keseluruhan akan punah oleh anarki. Akan tetapi di lain pihak proses integrasi tersebut juga terjadi di atas landasan konsensus bangsa Indonesia mengenai nilai-nilai fundamental tertentu. Kelahiran bangsa Indonesia sebagai bangsa yang merdeka sangat jelas menunjukan betapa nasionalisme pancasila telah menjadi daya spiritual yang sejak awal mempersatukan bangsa Indonesia.

Perbedaan-perbedaan suku bangsa, agama, daerah, dan pelapisan sosial saling silang menyilang satu sama lain menghasilkan suatu keanggotaan golongan yang bersifat silang menyilang pula. Cross cutting afiliation yang demikian telah menyebabkan konflik antar golongan di Indonesia bagaimanapun tidak menjadi terlalu tajam. bersama dengan tumbuhnya konsensus nasional mengenai nilai-nilai nasionalisme pancasila yang senantiasa beranggapan secara dinamis dengan mekanisme pengendalian konflik-konflik yang bersifat coercive,maka struktur masyarakat Indonesia yang silang menyilang itu telah menjadi landasan mengapa masyarakat Indonesia tetap dapat lestari dari masa ke masa, walaupun ia harus mengarungi samudera penuh dengan berbagai gelombang dan badai pertentangan.

Hubungan Sistem Komunikasi Indonesia (SKI) dengan Sistem Sosial
Komunikasi adalah bagian dari pola interaksi unsur-unsur dalam sistem sosial. Pendek kata, komunikasi adalah bagian dimensi sosial yang khusus membahas pola interaksi antarmanusia (human communication) dengan menggunakan ide atau gagasan lewat lambang atau bunyi ujaran.
Ilmu komunikasi adalah bagian dari ilmu sosial. Komunikasi sangat berperan sebagai salah satu manifestasi untuk memenuhi kebutuhan manusia. Melalui komunikasi manusia membangun diri dan lingkungannya. Melalui komunikasi peradaban manusia bisa maju, sebaliknya melalui komunikasi pula peradaban manusia bisa mengalami kemunduran. Melalui komunikasi manusia harkatnya bisa terangkat sekaligus bisa pula terjerumus ke dalam kenistaan melebihi binatang.
Pergaulan hidup dengan lingkungan merupakan faktor utama dalam membentuk kepribadian dan perkembangan jiwa manusia. Mengingkari masyarakat sebagai bagian dari manusia adalah sesuatu yang mengingkari hidup pula. Dengan kata lain, manusia tidak akan mengalami perkembangan fisik dan psikis yang baik jika ia mengasingkan diri dati masyrakat sekitarnya. Ketidakmampuan manusia berkomunikasi dengan orang lain membuat dirinya seperti ”katak dalam tempurung”. Ini disebabkan seluruh hidup manusia tidak akan terlepas dari komunikasi.
Dalam hubungannya dengan proses sosial, komunikasi menjadi sebuah cara dalam melakukan perubahan sosial (sosial change) komunikasi berperan menjembatani perbedaan dalam masyrakat karena mampu merekatkan kembali sistem sosial masyarakat dalam usahanya melakukan perubahan. Namun begitu, komunikasi juga tak akan lepas dari konteks sosialnya. Artinya, ia akan diwarnai oleh sikap, perilaku, pola, norma dan pranata masyarakatnya. Jadi keduanya saling mempengaruhi dan saling melengkapi, seperti halnya hubungan antara manusia dengan masyarakat. Di sisi lain, ilmu komunikasi dianggap telah menyediakan konsep-konsep baku yang dapat digunakan secara operasional untuk mencapai tujuan-tujuan interaksi sosial maupun profesi komunikasi.
Dengan demikian pula, membahas SKI tak ubahnya membahas berbagai fenomena, kegiatan, proses yang berkaitan erat dengan unsur-unsur komunikasi di Indonesia. Seperti kita ketahui, secara ringkas komunikasi mempunyai beberapa unsur, yakni sumber (source), pengirim pesan (communicator), media (channel), penerima pesan (communicant), dan efek (effect). Sebagai salah satu bagian dari ilmu sosial, maka ilmu komunikasi sasarannya adalah pernyataan pesan dan teknik penyampaian pesan yang disampaikan manusia. Sebab, sebagai makhluk yang paling sempurna manusia dikaruniai akal pikiran. Maka SKI adalah sekelompok orang, pedoman dan media yang melakukan suatu kegiatan mengolah, menyimpan, menuangkan ide, gagasan, simbol, lambang menjadi pesan dalam membuat keputusan untuk mencapai satu kesepakatan dan saling pengertian satu sama lain dengan mengolah pesan itu menjadi sumber informasi. Sistem komunikasi Indonesia membahas pola komunikasi yang secara idealistik dan normatif ada di Indonesia. SKI di pelajari karena adanya perkembangan teknologi di Indonesia, multietnis di Indonesia, serta adanya cultural lag di Indonesia akibat perkembangan teknologi. Oleh karena itu, sejatinya sistem komunikasi sudah sangat berpengaruh terhadap sistem sosial yang ada terutama sistem sosial di Indonesia. Hal tersebut didasari oleh adanya beberapa fungsi komunikasi yang secara garis besar menunjukan bahwa komunikasi sangat berhubungan dengan proses sosial di masyarakat, diantaranya:
1.      Komunikasi menghubungkan antara berbagai komponen masyarakat.
2.      Komponen disini tidak hanya individu dan masyarakat, tetapi juga antara berbagai bentuk lembaga sosial.Komunikasi membuka peradaban baru manusia.
3.      Komunikasi adalah manifestasi kontrol sosial dalam masyarakat
4.      Komunikasi berperan dalam sosialisasi nilai ke masyarakat.
5.      Komunikasi menunjukan identitas sosial seseorang.
Sistem sosial tidak jauh dari manusia dan masyarakat yang di dalamnya tidak lepas dari proses komunikasi. Dalam hubungannya dengan proses sosial, komunikasi menjadi sebuah cara dalam melakukan perubahan sosial. Komunikasi berperan menjembatani perbedaan dalam masyarakat karena mampu mengaitkan kembali sistem sosial masyarakat dalam usahanya melakukan perubahan.
Sistem sosial adalah sebuah bangunan sistem yang besar yang didalamnya mempunyai beberapa subsistem, termasuk sistem komunikasi itu sendiri. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa sistem komunikasi Indonesia menjadi subsistem dari sistem sosial Indonesia. Hal tersebut dapat diartikan bahwa corak sistem komunikasi dalam masyarakat Indonesia akan sangat ditentukan oleh corak, bentuk, dan keragaman masyarakat Indonesia itu sendiri. Misalnya,dalam sistem sosial dikenal budaya sungkan, maka sistem komunikasi juga akan mencerminkan budaya seperti itu. Contohnya, ketika proses komunikasi berlangsung, ada perasaan tidak enak untuk mengkritik atasannya sendiri. Ini artinya, proses komunikasi sangat dipengaruhi oleh lingkup sosial yang mempengaruhi seseorang. Kesimpulannya, sistem komunikasi Indonesia yang merupakan salah satu bagian dari bentuk komunikasi yang memang pada hakekatnya adalah bagian dimensi sosial yang khusus membahas pola interaksi antarmanusia sangat berhubungan erat dengan sistem sosial yang ada khususnya di Indonesia.
Hubungan Sistem Sosial Indonesia Dengan Sistem Komunikasi Indonesia
        Tak bisa di pungkiri, pembahasan tentang sistem komunkasi tak akan terlepas dari sistem sosial.sehubungan dengan itu apa yang menjadi prosedur dan perilaku dalam sistem sosial juga sangat mempengaruhi prosedur dan prilaku tang terjadi dalam sistem komunikaasi. Dan sisitem sosial yang terjadi di indonesia, tidak lepas dari masyarakat sebagai suatu sistem yang secara fungsional terintegrasi ke dalam suatu bentuk equilibium.
            Fungsional integrasi bisa kita kaji melalui sejumlah anggapan dasar sebagai berikut:
·         Masyarakat harus dilihat sebagai suatu sistem daripada bagian-bagian yang saling berhubungan satu sama lain.
·         Hubungan mempengaruhi bagian-bagian yang bersifat ganda dan timbal balik.
·         Secara fundamental system sosial cenderung bergerak ke arah equilibium yang bersifat dinamis : menanggapi perubahan yang datang dari luar dengan tetap mempertahankan sistem pada awalnya.
·         Meski adanya disfungsi, penyimpangan-penyimpangan tetapi akan terjadi proses institusionalisasi (ke arah perbaikan). Dengan kata lain, sekalipun integrasi sosial pada tingkatnya yang sempurna tidak akan pernah tercapai.
·         Perubahan-perubahan dalam sistem sosial terjadi secara gradual (melalui penyesuaian), tidak secara revolusioner.
·         Pada dasarnya, perubahan sosial timbul melalui tiga tahap : penyesuaian karena perubahan sistem dari luar, pertumbuhan karena diferensiasi struktural dan fungsional, dan penemuan baru oleh masyarakat.
·         Faktor yang paling penting yang memiliki daya mengintegrasikan suatu sistem sosial adalah konsensus di antara para anggota masyarakat mengenai nilai kemasyarakatan tertentu.

            Dapat dikatakan bahwa sistem sosial adalah suatu sistem tindakan yang terbentuk dari interaksi sosial yang terjadi antara berbagai individu yang tumbuh dan berkembang tidak secara kebetulan melainkan tumbuh dan berkembang di atas standar penilaian yang disepakati bersama oleh masyarakat. Pengaturan interaksi anggota terjadi karena commitment mereka terhadap norma sosial yang menghasilkan daya untuk mengatasi perbedaan-perbedaan pendapat dan kepentingan di antara mereka, suatu hal yang memungkinkan mereka menemukan keselarasan satu sama lain di dalam suatu tingkat integrasi sosial.

David Lockwood menegaskan bahwa situsasi sosial mengandung dua hal yakni tata tertib yang bersifat normtaif dan substratum yang melahirkan konflik-konflik. Jadi tata tertib dan konflik adalah dua kenyataan yang melekat bersama dalam tiap sistem sosial. Kemudian adanya pandangan dasar tentang sistem sosial memiliki kecenderungan untuk mencapai stabilitas atau equilibium menganggap bahwa adanya disfungsi, ketegangan, dan penyimpangan sosial merupakan akibat dari faktor luar.
Maka dari anggapan itu mengakibatkan adanya kenyataan tentang :
1.      Setiap struktur sosial dalam diri mengandung konflik-konflik.
2.      Reaksi dari pengaruh luar tidak selalu bersifat adjustive.
3.      Sistem sosial dalam waktu panjang dapat menghasilkan konflik Visious circle.
4.      Perubahan sosial tidak selalu bersifat gradual tetapi dapat terjadi secara revolusioner.
Kemudian pendekatan yang kedua adalah pendekatan konflik. Dimana pendekatan ini berpangkal dari :
1.      Setiap masyarakat berada dalam proses perubahan yang tidak pernah berakhir.
2.      Setiap masyarakat mengandung konflik di dalam dirinya.
3.      Setiap unsur dalam masyarakat memberikan sumbangan pada disintegrasi dan perubahan sosial.
4.      Setiap masyarakat terintegrasi di atas penguasa.
Perubahan sosial oleh penganut pendekatan konflik tidak saja dipandang sebagai gejala yang melekat di dalam kehidupan tiap masyarakat tetapi justru bersumber dari tiap individu yang diawali dari pembagian otoritas.
Adanya kelompok kepentingan yang merupakan sumber dari mana para anggota kelompok kepentingan terbentuk juga bisa menimbulkan sebuah konflik. Tetapi sebelumnya, Dahrendorf menyebutkan ada tiga syarat yang bersifat kondusional yang memungkinkan suatu kelompok semu dapat terorganisir ke dalam bentuk kelompok kepentingan :
a)      Kondisi teknis dari suatu organisasi (technical conditions of organization)
b)      Munculnya sejumlah orang yang mampu merumuskan dan mengorganisir latent interest menjadi manifest interest berupa kebutuhan yang ingin dicapai.
c)      Kondisi politis dari suatu organisasi (political conditions of organization)
d)     Ada tidaknya kebebasan politik untuk berorganisasi yang diberikan oleh masyarakat.
e)      Kondisi sosial bagi suatu organisasi (social conditions of organization)

Adanya sistem komunikasi yang memungkinkan para anggota dari kelompok semu berkomunikasi satu sama lain dengan mudah. Ketiga kondisi tersebut secara bersama-sama menjadi intervening variables bagi munculnya kelompok kepentingan yang hendaknya dipandang dalam hubungannya dengan suatu proses yang bersifat dinamis. Sementara konflik timbul sebagai akibat dari adanya kenyataan bahwa di dalam setiap masyarakat selalu terdapat distribusi otoritas yang terbatas adanya.

Suatu sintesis pendekatan fungsionalisme struktural dan pendekatan konflik dapat dilakukan mengingat bahwa keduanya mengandung kesamaan-kesamaan tertentu. Consensus dan konflik merupakan dua gejala yang melekat bersama-sama di dalam setiap masyarakat. Struktur masyarakat indonesia ditandai oleh dua cirinya yang bersifat unik. Secara horisontal ia ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasar perbedaan-perbedaan suku, agama,daerah,adat. Secara vertikal struktur masyarakat ditandai oleh adanya perbedaan-perbedaan vertikal antara lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup tajam. Perbedaan suku bangsa, agama, adat dan daerah merupakan ciri dari masyarakat indonesia yang disebut sebagai masyarakat majemuk.

Menurut Furnival Masyarakat indonesia pada masa hindia-belanda merupakan suatu masyarakat majemuk yakni, suatu masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain di dalam suatu kesatuan politik.
Di dalam kehidupan politik, pertanda paling jelas dari masyarakat Indonesia yang berisifat majemuk itu adalah tidak adanya kehendak bersama (common will). Secara keseluruhan, masyarakat Hindia-Belanda merupakan suatu masyarakat yang tumbuh di atas dasar sistem kasta tanpa ikatan agama.

Suatu sintesis pendekatan fungsionalisme struktural dan pendekatan konflik dapat dilakukan mengingat bahwa keduanya mengandung kesamaan-kesamaan tertentu. Consensus dan konflik merupakan dua gejala yang melekat bersama-sama di dalam setiap masyarakat. Struktur masyarakat indonesia ditandai oleh dua cirinya yang bersifat unik. Secara horisontal ia ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasar perbedaan-perbedaan suku, agama,daerah,adat. Secara vertikal struktur masyarakat ditandai oleh adanya perbedaan-perbedaan vertikal antara lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup tajam. Perbedaan suku bangsa, agama, adat dan daerah merupakan ciri dari masyarakat indonesia yang disebut sebagai masyarakat majemuk.

Menurut Furnival Masyarakat indonesia pada masa hindia-belanda merupakan suatu masyarakat majemuk yakni, suatu masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain di dalam suatu kesatuan politik.
Di dalam kehidupan politik, pertanda paling jelas dari masyarakat Indonesia yang berisifat majemuk itu adalah tidak adanya kehendak bersama (common will). Secara keseluruhan, masyarakat Hindia-Belanda merupakan suatu masyarakat yang tumbuh di atas dasar sistem kasta tanpa ikatan agama.


Pluralitas masyarakat yang bersifat multidimensional telah menimbulkan persoalan tentang bagaimana masyarakat Indonesia terintegrasi secara horisontal, sementara stratifikasi sosial sebagaimana diwujudkan oleh masyarakat Indonesia akan memberi bentuk pada Integrasi nasional yang bersifat vertikal.

Suatu sistem sosial senantiasa terintegrasi di atas landasan dua hal yaitu: pertama, masyarakat senantiasa terintegrasi di atas tumbuhnya konsensus di antara sebagaian besar anggota masyarakat akan nilai-nilai kemasyarakatan yang bersifat fundamental. Kedua, masyarakat terintegrasi karena menjadi anggota dari berbagai kesatuan sosial (cross cutting affiliations). Dengan sub kebudayaan yang berbeda satu sama lain, mudah sekali menimbulkan konflik. Dalam hal ini ada dua tingkatan konflik :
a)      Konflik ideologis
b)      Konflik antar sistem nilai yang dianut serta menjadi ideologi berbagai kesatuan sosial.
c)      Konflik politikus
d)     Konflik dalam bentuk pertentangan di dalam pembagian status kekuasaan dan sumber ekonomi.


Perbedaan-perbedaan suku bangsa, agama, daerah, dan pelapisan sosial saling silang menyilang satu sama lain menghasilkan suatu keanggotaan golongan yang bersifat silang menyilang pula
Jadi dari sini dapat disimpulkan untuk tidak memberlakukan kedua macam pendekatan yang telah berulang kali disebutkan yakni, fungsionalisme struktural dan pendekatan konflik secara sepihak.
Disinilah fungsi komunikasi dalam sistem komuikasi indonesia berperan untuk mengatasi konflik-koflik yang terjadi dilingkungan masyarakat sosial. Secara lebih terincih, fungsi-funsi komunikasi, yang di kemukakan Harold D Laswell adalah sebagai berikut :
1.       penjajangan/pengawasan lingkungan
2.      Menghubungkan bagian-bagian yang terpisah dari masyarakat untuk menaggapi lingkunganya,dan
3.      Menurunkan warisan sosial dari generasi kegenerasi berikutnya.

Fungsi pengawasan menunjukan pengumpulan dan distribusi informasi baik didalam maupun diluar masyarakat tertentu. Dengan fungsi ini, lingkungan masyarakat yang tejadi konflik, dapat diawasi/diperhatikan, agar dapat meminimalisir konflik-konflik yang terjadi baik itu konflik ideologis, konflik antar sistem nilai yang dianut serta menjadi ideologi berbagai kesatuan sosial, konflik polikus dan konflik dalam bentuk pertentangan didalam pembagian status kekuasaan dan sumber ekonomi.

Tindakan menghubungkan bagian-bagian meliputi interpretasi informasi mengenai lingkungan, dan pemakaiannya untuk berprilaku dalam reaksinya terhadap peristiwa yang terjadi, dengan fungsi ini, perbedaan-perbedaan suku bangsa, agama, dan daerah dapat dihubungkan satu sama lain, agar mereka salaing memahami dan saling melindungi, serta dapat menghindari terjadinya konflik antara agama satu dan agama lain, suku bangsa satu dengan suku bangsa lain, dan daerah satu dengan daerah lainnya.

Fungsi komunikasi diatas dapat dijadikan suatu senjata paling ampuh untuk menghindari terjadinya suatau konflik sosial, yang terjadi ditengah masyarakat atau sisitem sosial indonesia.










Tidak ada komentar: